Terdapat beberapa hadis yang menjelaskan hal ini, diantaranya,
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187 dan dihahihkan al-Albani).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,
أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461 dan dishahihkan al-Albani)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,
أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي
‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).
Hal-Hal yang Membolehkan Gugat Cerai
Hadis-hadis di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam keadaan tertindas. Karena yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu dilakukan karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Mengambil faidah dari keterangan Ustadz Firanda, M.A., berikut beberapa kasus yang membolehkan sangistri melakukan gugat cerai,
1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
(Silahkan lihat Roudhotut Toolibiin 7:374, dan juga fatwa Syaikh Ibn Jibrin rahimahullah di http://islamqa.info/ar/ref/1859)
Jika data yang Anda sampaikan benar, insya Allah wanita itu berhak melakukan gugat cerai. Terutama karena sang suami tidak mau shalat. Dia bisa melaporkan ke PA (Pengadilan Agama) untuk menyampaikan semua aduhannya. Jika pihak PA menyetujui, maka sang istri bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya yang pertama.
wassalam.
No comments:
Write komentar