Di penghujung Dzul Qo’dah, tahun ke
sepuluh dari pristiwa hijrah, kaum muslimin datang berdudyung-duyung menuju
madinah, kota cahaya. Suasana begitu ramai, setelah sebelumnya tersiar bahwa
baginda nabi Muhammad SAW hendak menunaikan ibadah haji di tahun ini. Mereka
berasal dari berbagai penjuru daerah, datang dengan membawa kerinduan yang
mendalam, merindukan momen terindah bersama Rosul Al-Musthafa, menunaikan haji
dalam bimbingan kekasih yang sangat dicinta. Kerinduan ini telah bertahun-tahun
terpendam di benak mereka.
Langit buru cerah, awan putih berarak
menambah indah pesona. Hari itu, sabtu siang usai sholat dhuhur, Rasulallah SAW
keluar meninggalkan kota makkah bersma seratus ribu lebih menusia pergi menuju
makkah, lembah yang berkah, baitullah, Ka’bah yang mulia. Pergi untuk
membimbing umat, mengajarkan agama dan rutinitas ibadah mereka, memenuhi
persaksian, menyampaikan amanat, memberi wasiat yang terakhir dan mengambil
sumpah serta perjanjiaan. Menghapus bekas-bekas kejahiliahan, mengajari yang
bodoh, mengingatkan yang lupa, membangkitkan semangat yang malas dan memberi
kekuatan pada yang lemah.
Baginda
Rosullah berhaji hanya sekali, tak pernah melakukan sebelum dan sesudahnya.
Momentum tersebut dikenal dengan haji wada’, karena pada saat itulah baginda
menyampaikan ucapan perpisahan, Wadda’a (berpamitan) kepada para sahabat
rosulullah SAW yang dengan iman, cinta dan kesetiaan, mereka telah tulus
mendampinginya. Ketika itu baginda bersabdah, “wahai sekalian manusia,
dengarlah aku, karena aku sungguh tak tahu, mungkin aku tak akan lagi berjumpa
dengan kalian setelah tahunku ini !”.
Khalayak
ramai yang hadir terkesiap mendengarkannya, lalu suasana berganti senyap.
Sesaat kemudian keharuan menyelimuti hati mereka. Dan pada detik-detik
berikutnya tangispun tak lagi tertahankan, memecah keheningan.
Di perut
lembah tanah ‘Arafah, kala matahari tergelincir ke arah barat. Hari itu jum’at
awal dzul Hijjah, baginda nabi menyampaikan khutbah yang begitu monumental,
khutbah yang menjelaskan hak-hak asasi manusia. Sebuah mistaq (Perjanjian) yang
menetapkan kaedah-kaedah islam, menghancurkan kaedah-kaedah kemusyrikan dan kejahiliahan.
Menjaga jiwa raga, harta benda serta harkat dan mertabat manusia, melindungi
kehormatan wanita, membela hak dan mengatur kewajibannya. Sebuah piagam yang
dideklarasikan untuk mengatur intraksi sosial antara uman manusia, jauh sebelum
orang-orang mengenal istilah Hak Asasi Manusia (HAM) – Kecuali sejak beberapa
dekade terakhir ini – yang kemudian di sepakati oleh perserikatan bangsa-bangsa
hingga menjadi sebuah ketetapan. Maka, tintapun kering diatas kertas,
menorehkan berbagai hukum dan perundang-undangan.
Sedangkan
mistak yang telah dideklarasikan baginda nabi SAW pada momentum haji wada’,
telah lama menjadi sebuah sistem yang dilaksanakan, dan undang-undang yang
diterapkan. Kaum muslimin telah mengamalkannya dengan aksi, bukan sekedar basa
basi dan menjadikan sebagai manhaj mereka dalam hidup, bukan sekedar retorika
belaka tanpa evektifitas dalam praktik kehidupan nyata, sebagaimana nasib yang
dialami oleh hak asasi manusia dalam sistem dan ketetapan perserikatan
bangsa-bangsa.
Haji yang
telah di prakrikkan oleh rosulallah SAW, juga khutbahnya di ‘Arafah dan mina,
sungguh telah menjadi sinar dan cahaya, menerangi jalan menusia menuju bahagia,
meraih hidayah. Baginda telah menggandeng erat umat ini, membimbing mereka
untuk mencapai derajat mulia dan sempurna.
Sungguh
khutbah yang memberi kesan mendalam di jiwa. Sungguh, pesan yang serat akan
makna, dan ajaran yang peripurna.
Di akhir
khutbah, baginda rosul berwasiat agar umat ini senantiasa berpegang teguh
kepada kitabullah. Selama mereka berpegang teguh pada kitabullah tak akan
tersesat selamanya. Umat ini bertanggung jawab penuh atas eksistensi dan fungsi
wahyu allah tersebut sebagai pedoman hidup mereka. Maka, ketika baginda rosul
meminta persaksian atas tugas yang telah dilaksanakannya, para sahabatpun
sengan segera serentak menjawab, “kami bersaksi bahwa engkau sunggu telah
menyampaikan amanat, engkau sungguh telah menunaikan kewajiban teramat berat dan
engkau juga telah memberikan nasehat kepada ummat !.”
Tatkala
mendengarnya, raut wajah baginda tampak berseri-seri, menunjukan betapa bahagia
perasaannya. Segera, setelah itu, ia mengangkat jemarinya kelangit, seraya
bersabdah, “allahumma isyhad (ya allah saksikanlah)!” diulanginya sebanyak tiga
kali. Terdengar begitu berarti.
Betapa
berharganya pesan yang tekah disampaikan, betapa luhurnya nilai-nilai yang
telah diajarkan sejak keberangkatan baginda nabi SAW pergi meninggalkan
madinah, mengendarai unta Al-Qashwa’, hingga proklamasinya yang lantang
membahana penuh kesungguhan, bersih dari kemusyrikan, dan suci dari riya’ serta
kamunafikan, “allahumma hajjatan la riya-a fihi wala sum’ah !.”
Lalu
bertahlil mentauhidkan allah, menyatakan penghambaan diri kepadanya, tuhan
semesta alam, “labbaik allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik inna
al-hamda wa al-ni’mata laka wa al-mulk, la syarika laka !.”
Itulah
sesungguhnya kalimat iman yang jujur- murni yang membuka pintu-pintu langit dan
menggema menggetarkan penjuru bumi. Kalimat yang terucap dari bibir dan
terlepas lekas dari tenggorokan orang-orang mukmin. Mereka mengulang-ulang
pekikan kalimat tauhid itu, sambung menyambung bersama pemimpin agung, rasul
pilihan, nabi akhir zaman, muhammad bin abdullah sebagai rahmat bagi semesta alam, yang telah membacakan dan
mengajarkan Al-Qur’an kitab suci pembawa kedamaian.
Itulah
saat penuh berkah yang pernah tercatat dalam sejarah dan bumi menjadi tempat
yang paling berbahagia dengan adanya kafilah tersebut, kafilah orang-orang yang
datang untuk memenuhi panggilan ilahi, penggilan allah yang maha tinggi.
Bersama insan mulia yang telah menapakkan kakinya di lembah suci, dialah
muhammad bis abdullah al-hasyimi. Juga bersama delegasi terhormat yang datang
ke baitullah al-‘Atik untuk menyempurnakan rukun islam sebagai agama yang
fitri.
Alangkah
nikmat yang agung tiada tara dan risalah yang sangat mulia. Diturunkan dari
langit tertinggi kepada penutup para rosul dan nabi, di hari yang paling utama,
demi menyambut lahirnya hak asasi manusia, piagam paling berharga di kala bumi
menghembus-terbangkan kedhaliman tirani yang merajalela.
No comments:
Write komentar