Gambaran Umum Desa Karanganyar
Sebelum Karanganyar, desa tempat PP Nurul Jadid berdiri dikenal dengan nama Tanjung. Nama ini diambil dari nama sebuah pohon besar yang bernama Tanjung. Bukan hanya itu bunganya yang tumbuh dari pohon itu dinamai bunga Tanjung. Pohon besar tersebut berdiri tegak di tengah-tengah desa itu sejak zaman dulu. Kemudian pula masyarakat setempat menganggap pohon Tanjung mempunyai kelebihan dan keistimewaan. Tak heran, nama pohon itu diabadikan sebagai nama desa.
Nurul Jadid |
berada sekitar 30 km ke arah timur Kota Probolinggo Jawa Timur. Pada mulanya sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan. Itu karena karena Karanganyar masih merupakan hutan kecil yang banyak dihuni binatang buas. Sementara kehidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan. Mereka menganut kepercayaan yang lebih mendekati Animisme dan Dinamisme. Hal itu terlihat jelas misalnya dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka.
Kenyataan lainnya adalah adanya upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan. Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakn ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Yaitu beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang kepala kerbau. Itu karena Tanjung juga terletak tak jauh dari laut.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat Karanganyar sangat terbelakang. Mereka belum mengenal peradaban baru sama sekali. Hal itu terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat Pekerja Seks Komersial (PSK).
Lain lagi dalam bidang ekonomi. Masyarakat Karanganyar termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa orang.
Dengan demikian, Karanganyar waktu itu merupakan desa “mati”, karena disamping daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya. Padahal pada sisi lain kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari – hari sehingga moralitas jauh ditinggalkan. Pada saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kenungkaran.
Kedatangan Pendiri
Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung seperti itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH. As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo—memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin. Daerah yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Karanganyar.
samping itu, isyarat lainnya juga mengarah ke Desa Karanganyar. Pertama, ketika KH Zaini Mun’im mengambil contoh tanah di Desa Karanganyar, tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu sebagai isyarat jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar, maka akan banyak santrinya. Kedua, isyarat yang datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika beliau mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Karanganyar, beliau berkata kepada kusir dokarnya, “di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini (Desa Karanganyar), maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya. Ketiga,adalah isyarat dari alam itu sendiri, di mana kondisi tanahnya yang bagus dan masalah air tidak menjadi masalah. Di samping itu Desa Karanganyar merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.
Setelah terjadi kesepakatan antara KH. Zaini Mun’im dengan H. Tajuddin pemilik tanah di desa Karanganyar itu, yang ditukarkan dengan tanah beliau yang ada di Madura, maka dengan berbekal satu batang lidi, beliau terus berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga semua hewan dan binatang buas serta membahayakan itu lari dan meninggalkan hutan jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan mengubah hutan menjadi tegalan.
Awal Mula Berdirinya Pesantren
Kedatangan KH. Zaini Mun’im pada tanggal 10 Muharram 1948 di desa Karanganyar, awalnya tidak bermaksud untuk mendirikan Pondok Pesantren. Tapi beliau mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda, dan beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta untuk bergabung dengan teman-temanya.
Sebenarnya, cita-cita KH. Zaini Mun’im dalam menyiarkan agama Islam akan beliau salurkan melalui Departemen Agama (Depag). Namun, niat itu menemui kegagalan, sebab sejak beliau menetap di Karanganyar, beliau mendapat titipan (amanat) Allah berupa dua orang santri yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua orang tersebut bernama Syafi’uddin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifuddin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo.
Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan mulai saat itulah beliau menetap bersama kedua santrinya. Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP. Probolinggo, karena waktu itu beliau memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari Pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena beliau—menurut Belanda—mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan mereka (penjajah Belanda).
Dalam LP. Probolinggo, beliau dipaksa untuk memberitahukan keberadaan teman-temannya kepada Pemerintah Belanda. Tapi dengan jiwa besar beliau tidak menjelaskan walaupun dipaksa. Beliau sangat kuat memegang semboyan “liberty or dead ”—merdeka atau mati. Setelah sekitar tiga bulan dipenjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatanganya.
Sejak saat itulah, KH. Zaini Mun’im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti Muyan, Abd. Mu’thi, Arifin, Makyar, Baidlawi, dan Jufri. Mereka ada yang berasal dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo.
Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH. Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka. Dan mulai saat itu pula beliau memutuskan untuk tidak bergabung dengan teman-temannya di pedalaman Yogyakarta.
Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH. Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Mentri Agama (waktu itu adalah KH. Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jama’ah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima.
Kesediaan beliau tersebut, selain untuk memenuhi tugas juga untuk memenuhi keinginan beliau dulu yang ingin menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tanah air Indonesia melalui Depag. Hal ini juga sesuai dengan semboyan beliau bahwa; “Hidup saya akan diwaqafkan untuk penyiaran dan meninggikan agama Allah”.
Ketika KH. Zaini Mun’im berada di Mekkah, mendampingi jamaah haji Indonesia—sebagai penasehat. Pesantren yang sebelumnya beliau asuh, untuk sementara beliau tinggalkan dan sementara waktu digantikan oleh KH. Sufyan. KH. Sufyan adalah santri yang ditugaskan oleh KH. Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH. Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau.
Sejak itulah KH. Zaini Mun’im mulai dikenal di masyarakat karena keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Disamping pembantunya yang bernama KH. Sufyan yang sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang di bawah bimbingan KH. Munthaha dan KH. Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki oleh KH. Sufyan, beliau dengan mudah membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu (cankruk) untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.
Sepulangnya KH. Zaini Mun’im dari tanah suci terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH. Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah Pesantren yang cukup besar seperti pembaca lihat sekarang.
Nama Nurul Jadid
Pesantren yang diasuh KH. Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia).
Nama Pesantren, yang sekarang terkenal dengan Nurul Jadid, bermula pada saat KH. Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH. Abd. Majid) bernama KH. Baqir. Beliau mengharap kepada KH. Zaini Mun’im untuk memberi nama Pesantren yang diasuhnya dengan nama “Nurul Jadid” (Cahaya Baru). Namun pada saat itu pula, KH. Zaini Mun’im menerima surat dari Habib Abdullah bin Faqih yang isinya memohon agar Pesantrennya diberi nama “Nurul Hadis”.
Habib Abdullah bin Faqih mengharap agar nama Pesantren yang diasuh oleh KH. Zaini Mun’im itu mirip dengan nama Pesantren yang beliau asuh, yaitu PP. Darul Hadits Malang. Habib Abdullah bin Faqih memang mengakui terhadap kealiman KH. Zaini Mun’im terutama dalam bidang tafsir. Sehingga tidak heran jika KH. Zaini Mun’im memberi pelajaran tafsir bil l- imlak kepada santri-santrinya.
Dengan adanya dua nama yang diajukan oleh KH. Baqir dan Habib Abdullah bin Faqih antara “Nurul Jadid” dan “Nurul Hadits”, maka KH. Zaini Mun’im memilih nama “Nurul Jadid” untuk diabadikan sebagai nama Pesantrennya. Ternyata nama itu cukup berarti dalam dinamika perkembangan zaman. Sebab kiprah PP. Nurul Jadid sudah diakui oleh berbagai pihak. Terutama dalam kepeduliannya ikut menciptakan manusia seutuhnya seperti yang pembaca lihat saat ini. Sementara Dr. KH. Idham Cholid (Ketua Umum PBNU waktu itu), ketika berkunjung ke PP. Nurul Jadid pernah memberikan predikat kepada Pesantren ini dengan nama “Cahaya Modern”.
Perubahan Desa Karanganyar
Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH. Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya timbul suatu kesadaran dikalangan mereka bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dalam kehidupan sosial ekonomi.
Setelah kesadaran beribadah mereka mulai tumbuh dan menyentuh hati nuraninya ~ terbukti dengan munculnya beberapa mushalla ~ maka masyarakat Karanganyar oleh KH. Zaini Mun’im dikenalkan dengan tanaman baru, tembakau, yang bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa Karanganyar. Tapi, seiring perkembangannya ternyata tanaman ini cocok dengan keadaan tanah Desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian masyarakatnya. Hingga akhirnya, tanaman ini menjadi penghasilan pokok masyarakat Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.
Dalam sisi lainnya, upaya yang dilakukan KH. Zaini Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK. Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga bahagia dunia-akhirat).
Upaya perubahan yang dilakukan oleh KH. Zaini Mun’im dan segenap santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpatik masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan PP. Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Nurul Jadid Dari Masa Ke Masa
Masa Cikal Bakal (1948 – 1976)
Keberadaan PP Nurul Jadid tak lepas dari konstruksi kemasyarakatan yang mencitakan suatu transendensi atas perjalanan historisitas sosial. Hal yang menjadi titik penting adalah kenyataan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir terbuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan dan kepedulian sosial.
Berdirinya Pondok Pesantren Nurul Jadid memang bukan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan keilmuan, melainkan juga penjagaan budaya, penyebaran etika dan moralitas keagamaan. Tak heran, pada periode awal ini santri lebih diarahkan agar lebih memahami bentuk aplikasi dari teori ilmu-ilmu keagamaan yang mereka pelajari dalam kitab-kitab kuning. Sehingga nantinya, para santri bisa mengamalkan teori ilmu-ilmu keagamaan secara tepat dan benar ketika sudah terjun di tengah-tengah masyarakat. Bentuk aplikasi ilmu keagamaan tersebut dilakukan dalam bentuk pendampingan kepada masyarakat.
Hal itu bisa dilihat misalnya dalam bidang ekonomi, khususnya pertanian. Sektor ekonomi ini dijadikan prioritas. Hal ini tidak lepas dari pendapat beliau bahwa jika bidang perekonomian suatu masyarakat lemah, maka acapkali hal itu menjadi salah satu pemicu tumbuh-berkembangnya perilaku amoral dan kufur. Pendapat itu beliau utarakan setelah beliau melakukan analisa terhadap situasi dan kondisi perekonomian masyarakatnya amat rendah. Selain itu, Karanganyar juga terkenal sebagai pusatnya bromocorah. Namun, tanah di Karanganyar sebenarnya merupakan kategori tanah yang cukup produktif. Hanya saja, masyarakatnya belum bisa memanfaatkannnya dengan baik.
Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan berbagai metode. Mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian kitab kuning menggunakan bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menerangkan dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Sementara dalam bidang lembaga pendidikan, diterapkan sistem pendidikan yang sistematis dan terprogram dengan baik sehingga akan menghasilkan out put yang kompeten dalam berbagai bidang dan bisa mengabdikan dirinya, baik bagi agama dan atau tanah air. Sehingga Di periode awal ini pula sudah mulai berdiri beberapa lembaga pendidikan formal. Di antara beberapa lembaga pendidikan tersebut, antara lain seperti Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA). MIA didirikan bersama-sama masyarakat pada tahun 1950. Saat itu, MIA yang terletak di luar Pesantren itu menggunakan sistem sebagaimana yang diterapkan di sekolah-sekolah umum.
Selain mendirikan MIA, berdiri pula lembaga pendidikan taman kanak-kanak Nurul Mun’im. Pada saat yang sama dirintis sebuah sistem pendidikan model klasikal yang dulunya dikenal sebagai sistem khairiyah. Dalam sistem khairiyah itu, diterapkan sistem pendidikan yang sistematis dan terprogram. Sementara itu, materi pelajarannya tidak hanya terbatas pada pelajaran-pelajaran agama. Namun pelajaran umum juga sudah diajarkan. Seperti matematika, bahasa indonesia, ilmu tata negara dan lainnya.
Dalam rangka menerapkan sistem pendidikan yang sistematis dan terprogram itu pula, dirintis berdirinya sebuah lembaga yang—waktu itu—diberi nama Flour Kelas. Lembaga ini dibentuk sebagai pendidikan lanjutan bagi santri yang akan meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selanjutnya, tahun 1961, lembaga pendidikan Flour Kelas ini berubah nama menjadi Mu’allimin. Dan pada tahun 1964, mulai diajarkan materi bahasa inggris, sejarah, geografi, biologi, dan sebagainya.
Dalam perjalanan berikutnya Madrasah Mu’allimin, pada tahun tahun 1969, berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dan selang tiga tahun kemudian, status MTs ini dinegerikan. Selain lembaga yang berafiliasi ke Depag berdiri Sekolah Dasar Islam (SDI) pada tahun 1974. Lembaga ini, mulanya untuk menampung aspirasi masyarakat yang enggan menyekolahkan putra-putrinya ke dalam lembaga pendidikan Nurul Jadid yang lokasinya berada di dalam Pesantren. Dua tahun kemudian, SDI menempati lokasi baru dan namanya berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Mun’im (MINM) yang sekaligus merupakan lembaga pendidikan formal tingkat dasar.
Satu tahun kemudian (1975), ketika kalangan masyarakat dan pemerintah sedang bersemangat mensosialisasikan prospek pendidikan agama, maka Yayasan Pesantren Nurul Jadid mendirikan sebuah lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) berjenjang 6 tahun. Dengan berdirinya PGANJ ini, diharapkan para santri dapat mendarma baktikan dirinya dalam dunia pendidikan, baik di dalam lingkungan pemerintahan maupun swasta. Tapi dalam proses perjalanannya, PGANJ ini hanya bertahan tiga tahun.
Pada tanggal 20 Juli 1968, melalui musyawarah kerja Wilayah NU Jawa Timur di Lumajang, dibentuklah panitia usaha pendidikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU) yang berada di bawah pengawasan Partai Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Selanjutnya, ADIPNU tersebut didirikan di Pesantren Nurul Jadid yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Kiai Zaini. Dan dua bulan kemudian, tepatnya 1 September 1968, KH. Idham Chalid selaku Ketua Umum PBNU waktu itu membuka secara resmi ADIPNU di Pesantren Nurul Jadid.
Periode Pembinaan dan Penataan (1976 – 1984)
Pada periode ini, ditata sebuah formulasi atas sebuah khazanah intelektual yang mumpuni. Kenyataan yang paling nampak adalah kualifikasi keahlian masing-masing, dan bahkan ada yang menjadi standar budaya kaum santri. Sehingga para santri dalam benak hatinya selalu memiliki beban untuk senantiasa tafaqquh fi al-din, mendalami ilmu agama yang nantinya akan ditunggu hasilnya oleh umat. Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah bahwa pada periode kedua ini, instink manajerial telah mampu mengadaptasi segala respon positif serta kreasi-kreasi inofatif. Implementasi dari aktifitas tersebut selalu dijiwai petunjuk tentang strategi melaksanakan tugas perjuangan.
Pendekatan kearifan dengan senantiasa melihat kondisi psikologi, sosial dan kultural santri. Selain itu juga dilakukan suatu pendekatan komunikasi melalui lisan maupun teladan tindakan dalam rangka transfer of value kepada santri. Tak kalah pentingnya pengembangan kehidupan rasional yang selalu mengedepankan eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Bangunan seperti inilah yang digagas oleh KH Hasyim Zaini (pengasuh kedua) dalam pembinaan dan penataan PP Nurul Jadid sejak 1976 – 1984.
Wal-Hasil, di satu pihak PP Nurul Jadid diupayakan terus menyesuaikan dirinya dalam konteks modernitas dan tetap mempertahankan tradisi lampau di lain pihak. Dalam hal kepemimpinan pesantren diterapkan kepemimpinan kolektif. Yaitu diasuh secara bersama – sama oleh 7 orang pengasuh. Walaupun secara struktural, kepemimpinan pondok dijabat oleh seorang pengasuh saja. Akan tetapi dalam operasionalnya diterapkan kepemimpinan kolektif.
Di sektor pendidikan, santri terus diupayakan untuk tafaqquh fi al din. Dalam bidang keilmuan santri terus ditempa untuk menguasai khazanah keilmuan klasik yang tertuang dalam kitab kuning. Utamanya mereka yang duduk dijenjang MI, MTs dan MA. Sedangkan bagi mereka yang duduk di bangku SLTP dan SMU diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan khususnya MAFIKIB. Namun bukan berarti mereka tidak menguasai bidang keagamaan. Itu karena pendalaman keagamaan digalakkan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada periode pendidikan dan pembinaan dilakukan secara integral. Sehingga terjadi sebuah proses yang saling mendukung antara program di sekolah dan kegiatan di asrama.
Di sektor pendidikan, santri terus diupayakan untuk tafaqquh fi al din. Dalam bidang keilmuan santri terus ditempa untuk menguasai khazanah keilmuan klasik yang tertuang dalam kitab kuning. Utamanya mereka yang duduk dijenjang MI, MTs dan MA. Sedangkan bagi mereka yang duduk di bangku SLTP dan SMU diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan khususnya MAFIKIB. Namun bukan berarti mereka tidak menguasai bidang keagamaan. Itu karena pendalaman keagamaan digalakkan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada periode pendidikan dan pembinaan dilakukan secara integral. Sehingga terjadi sebuah proses yang saling mendukung antara program di sekolah dan kegiatan di asrama.
Selanjutnya, karena adanya perubahan dari Sisdiknas, maka pada tahun 1977 (satu tahun setelah wafatnya Kiai Zaini) PGANJ 6 tahun berubah menjadi MTs untuk kelas I, II, dan III. Sedangka kelas IV, V dan VI menjadi Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ). Pada jenjang pendidikan tinggi juga mulai terlihat adanya peningkatan. Pada tahun 1979/1980 dirintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Hal lainnya adalah, membekali santri dengan life skill melalui pendelegasian mengikuti pelatihan, baik tingkat wilayah maupun tingkat nasional. Pada periode penataan dan pembinaan ini pula mulai dirintis adanya ketrampilan santri. Mulai dari elektro, jahit menjahit, pertanian serta skill kebahasaan (arab-inggris).
Selain juga, para santri dan alumni dianjurkan untuk mengisi birokrasi. Jumlah santri pada masa KH Hasyim Zaini meningkat drastis. Pada tahun 1983, jumlah santrinya mencapai sekitar 2000 santri.
Periode Pengembangan (1984 – 2000)
Meski kesibukannya di luar pesantren sangat padat, KH A Wahid Zaini (pengasuh ketiga) tetap bisa mengurus pesantren dengan baik. Pada masa beliau PP Nurul Jadid mengalami perkembangan yang sangat pesat. Baik mengenai jumlah santri maupun pelayanan dan pengembangan kemasyarakatan. Tokoh pesantren yang punya pemikiran modern ini tak hanya mendidik para santrinya agar mampu memahami ilmu-ilmu agama dan tekhnologi. Lebih dari itu pada masa kepemimpinannya, KH A Wahid Zaini mendorong memajukan dan kemandirian masyarakat sekitar pesantren lewat pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
Dalam bidang pendidikan, dilakukan pembenahan mulai dari TK (Taman Kanak-Kanak) hingga pendidikan tinggi. Pembenahan itu antara lain dilakukan pada TK Nurul Muni’m pada tahun 1989 dengan menjalin kerjasama antara PKBI (perkumpulan keluarga berencana indonesia) dan Pesantren Nurul Jadid. TK Nurul Mun’im kemudian berubah menjadi TK. Bina Anaprasa.
Satu tahun kemudian beberapa lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya memiliki status terdaftar dan diakui diusahakan menjadi disamakan. Dengan peningkatan status ini, lembaga pendidikan tersebut sejajar dengan lembaga pendidikan negeri. Beberapa lembaga tersebut adalah SMUNJ yang disamakan pada tahun 1990, SMPNJ yang disamakan pada tahun 1991, dan MTsNJ serta MANJ yang disamakan pada tahun yang sama yaitu 1997.
Pada tahun 1992, di Pesantren Nurul Jadid juga telah dirintis berdirinya Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak didik memahami kitab klasik dan juga mampu berbahasa asing (arab dan inggris). Selanjutnya pada tahun 1995, berdasarkan kurikulum baru, lembaga pendidikan MAPK ini berubah nama menjadi MAK.
Sementara itu, upaya-upaya pengembangan juga terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Seperti perubahan status dari PTID menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid (1986). Perubahan itu karena bertambahnya konsentrasi keilmuan di tubuh PTID menjadi tiga fakultas. Yaitu Fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah dengan dua jurusan pada masing-masing fakultas. Kemudian pada tahun 1999 masing-masing fakultas tersebut lolos akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Sementara itu, upaya-upaya pengembangan juga terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Seperti perubahan status dari PTID menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid (1986). Perubahan itu karena bertambahnya konsentrasi keilmuan di tubuh PTID menjadi tiga fakultas. Yaitu Fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah dengan dua jurusan pada masing-masing fakultas. Kemudian pada tahun 1999 masing-masing fakultas tersebut lolos akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN).
Selain itu di bidang teknologi komputer juga dilakukan berbagai pengembangan. Untuk menjawab tantangan dalam bidang information technology (IT), pada tahun 1999 didirikan STT (Sekolah Tinggi Teknologi) Nurul Jadid yang semula hanya berupa kursus komputer. Kursus tersebut kemudian berkembang menjadi program Diploma I yang kemudian dikembangkan menjadi AKOMI (Akademi Komputer Manajemen Informatika). Yang pada akhirnya lembaga itu berkembang menjadi salah satu lembaga pencetak lulusan yang hingga saat ini telah tersebar hampir di seluruh lembaga pendidikan berbasis IT di Probolinggo.
Pesantren juga menggalakkan pengembangan bahasa asing. perkembangan ini terlihat dengan berdirinya LPBA (lembaga pengembangan bahasa asing) yang menjadi cikal bakal pendidikan D1 bahasa inggris. LPBA diharapkan dapat menghidupkan ghirah berbahasa asing di masing-masing gang (sebuah istilah untuk menunjuk tempat tinggal santri sehari-hari). Sehingga diharapkan bahasa arab dan inggris akan menjadi bahasa santri sehari-hari.
Berbagai upaya mendorong memajukan dan kemandirian masyarakat sekitar pesantren juga digalakkan. Melalui BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ), PP Nurul Jadid antara lain mendirikan USP (unit simpan pinjam) yang dirintis tahun 2000 guna membantu para petani tembakau dan juga memberikan pendampingan pada mereka. Ide ini muncul karena petani tembakau di sekitar Paiton tidak memiliki posisi daya tawar yang kuat dihadapan para pengambil kebijakan. Padahal tembakau, merupakan pasokan utama ekonomi masyarakat Paiton. Melalui Paperton, pesantren dan masyarakat bermusyawarah seputar persoalan-persoalan pertembakauan, seperti kapasitas produksi, kapasitas daya tampung gudang dan lain-lain.
Pesantren juga merintis berbagai usaha agrobisnis berupa penanaman varietas tanaman. Seringkali tanaman petani hanya sejenis. Akibatnya, kalau satu terserang hama, semua tanaman akan ludes. Usaha lainnya berupa peternakan dan perikanan. Untuk membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, Ponpes juga mendirikan BP (balai pengobatan) Azzainiyah yang semula bernama Usaha Pelayanan Kesehatan Santri (UPKS). Juga panti asuhan untuk menampung anak-anak dari kalangan ekonomi lemah.
Kepengasuhan pesantren kemudian dilanjutkan oleh KH. Moh. Zuhri Zaini, pada masa beliau dilakukan pembenahan dalam struktur Pondok Pesantren seperti dibentuknya Dewan Pengasuh, koordinatorat sebagai lembaga yang membantu pengasuh, restrukturisasi BPPM, pembentukan bagian khusus yang menangani pembinaan Al-Qur’an. Pada masa ini pula didirikan Ma’had Aly yang memiliki konsentrasi dalam pembinaan kader dakwah.
Kepengasuhan pesantren kemudian dilanjutkan oleh KH. Moh. Zuhri Zaini, pada masa beliau dilakukan pembenahan dalam struktur Pondok Pesantren seperti dibentuknya Dewan Pengasuh, koordinatorat sebagai lembaga yang membantu pengasuh, restrukturisasi BPPM, pembentukan bagian khusus yang menangani pembinaan Al-Qur’an. Pada masa ini pula didirikan Ma’had Aly yang memiliki konsentrasi dalam pembinaan kader dakwah.
Untuk peningkatan kinerja organisasi pesantren, dilakukan beberapa langkah yang mengarah kepada pembenahan infrastruktur manajemen pesantren seperti pengadaan Local Area Network (LAN) sebagai penghubung elektronik antar lembaga di Pondok Pesantren, sentralisasi data, pembuatan website, dan pembakuan lembar pesantren.
No comments:
Write komentar