Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Pengalaman Nabi Muhammad melakukan
Isra’ dan Mi’raj termasuk hal yang juga masih mendapat
banyak perdebatan didunia Islam khususnya dan dunia Barat pada umumnya yang
memang memandang kisah tersebut dengan kacamata skeptis dan menganggapnya hanya
sebagai khayalan dan bualan dari Nabi belaka.;
Sebaliknya umat Islam sendiri meributkan apakah
perjalanan yang dilakukan oleh Nabi tersebut dilakukan secara jasmani atau
perjalanan rohani. Semuanya didasarkan pada cara pandang masing-masing orang
dalam menafsirkan ayat dan hadis yang berhubungan dengan kejadian ini.
Kisah perjalanan malam Nabi Muhammad yang
terjadi pada saat beliau kehilangan istri dan paman yang dikasihinya inipun
sebenarnya secara obyektif dapat juga dianalisa melalui kacamata ilmiah dimana
apa yang beliau alami sekitar 1400 tahun yang silam itu tidak ubahnya seperti
seorang pebisnis yang melakukan perjalanan pulang-pergi dengan pesawat terbang
dari suatu tempat ketempat yang lain.
Maha Suci Dia yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil haram kemasjidil aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya, untuk Kami perlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan Kami; Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat – Qs. 17 al-Israa’ : 1
Dengan segala kesucian-Nya, bebas dari kemauan,
kehendak maupun ketinggian teknologi yang ada pada diri seorang hamba-Nya
Muhammad, Allah telah memperjalankannya pada suatu malam yang sepi dengan segala
kelengkapan dan fasilitas yang mengelilinginya sehinga terhindar dari segala hal
buruk yang dapat terjadi selama perjalanan itu berlangsung dari suatu tempat
bernama Masjid al-Haram dengan tujuan memperlihatkan kerajaan Allah dialam
semesta.
Disurah yang lain Allah berfirman sehubungan
peristiwa ini :
Perhatikanlah bintang ketika dia menghilang,
tidaklah kawanmu (Muhammad) orang yang sesat dan bodoh, tidak juga perkataannya
itu berasal dari hawa nafsunya pribadi, apa yang diucapkannya adalah wahyu yang
disampaikan dan yang diajarkan kepadanya oleh yang sangat kuat (Jibril) yang
mempunyai akal yang cerdas.
Dan dia telah menampakkan rupanya yang asli
saat dia berada diufuk yang tinggi lalu dia mendekat dan menjadi rapat (terhadap
diri Muhammad) tidak ubahnya berjarak antara dua busur panah atau lebih dekat
lagi; kemudian dia (Jibril) meneruskan kepadanya (Muhammad) apa saja yang telah
diwahyukan; hatinya tidak mendustakan apa yang sudah dilihatnya, maka apakah
kamu hendak membantah apa yang sudah dia lihat ?
Dan sungguh dia telah melihatnya pada
kesempatan yang lain, di Sidratul Muntaha yang didekatnya ada Jannah tempat
tinggal; ketika Sidratul Muntaha itu diliputi sesuatu yang melapisinya maka
tidaklah dirinya berpaling dari apa yang terlihat dan tidak juga dia bisa
melebihinya, sungguh dia telah melihat tanda-tanda Tuhannya yang paling
hebat– Qs. 53 an-Najm : 1 s/d
18
Dalam ayat yang cukup panjang diatas,
dipaparkan bagaimana dalam peristiwa perjalanan malamnya itu Nabi Muhammad
berjumpa dengan malaikat Jibril dengan wujudnya yang asli seperti yang pernah
disaksikannya saat pertama kali beliau mendapat wahyu digua Hira.
Bila kita analisa ayat per ayatnya maka
tidaklah sulit bagi kita untuk mengetahui bahwa semua yang sudah dialami oleh
Nabi Muhammad tersebut bukanlah bualan maupun mimpi-mimpi belaka, tidak juga
yang dialaminya merupakan sekedar pengalaman rohani yang tidak melibatkan jasad
jasmaninya karena disitu dicantumkan keterangan bahwa hati Nabi sebagai rohani
tidak mungkin mendustakan apa yang sudah dilihat oleh matanya sebagai indra
jasmani.
Sebab itu juga kita bisa mengerti bila ada
sebagian orang yang tadinya beriman namun setelah beliau menceritakan pengalaman
terbangnya yang hanya dalam setengah malam saja berbalik murtad dan mendustakan
kenabiannya.
Peradaban masyarakat Mekkah secara khusus dan
dunia secara umumnya kala itu masing sangat rendah bahkan Eropa belum lagi
mengenal masa renaisansnya, dunia juga belum mengenal pesawat terbang, orang
masih berkhayal terbang dengan permadani atau kuda sembrani seperti pada film
Aladdin dan sejenisnya.
Pesawat terbang sendiri baru dibuat pada abad
19 yaitu bulan Desember 1903 oleh Wright bersaudara (Wilbur Wright dan Orville
Wright) dengan percobaan pertama mereka diatas padang pasir Kitty Hawk, Carolina
Utara, Amerika Serikat (Sumber : Brian Williams, Pustaka Pengetahuan Modern,
Pesawat Terbang, terj. Dadi Pakar, Penerbit PT. Widyadara, Jakarta, hal. 3)
Kejadian didalam mimpi tidak perlu
diperdebatkan apalagi membuat seseorang menjadi gusar dan berbalik keimanan.
Semua orang bisa saja bermimpi yang aneh-aneh, semua orang boleh saja mengatakan
bahwa didalam mimpinya tadi malam telah pergi melanglang buana dan menemui
banyak wanita cantik atau bahkan didalam mimpinya itu dia sudah menjalankan
ibadah haji; namun semuanya tetaplah mimpi belaka yang hakekatnya tidak terjadi
dialam nyata yang sebenarnya.
Dus, sekalipun misalnya benar bahwa peristiwa
Isra’ dan Mi’raj pernah terjadi didalam mimpinya, maka
sesuai dengan ayat al-Qur’an
yang lain bahwa mimpi yang diperlihatkan kepada Nabi pasti akan terjadi didunia
nyata dan ini berarti tetap saja akhirnya mimpi Isra’ dan Mi’raj itu dialami secara jasmani oleh Nabi
Muhammad.
Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada
Rasul-Nya mengenai kebenaran mimpinya dengan sebenarnya – Qs. 48 al-Fath : 27
Bahwa perjalanan Isra’ dan Mi’raj disebutkan berlangsung pada waktu
malam hari, dimana secara psikologis suasana lebih terasa tenang dibanding
keadaan disiang atau dipagi hari, aktivitas masyarakatpun sudah berpusat didalam
rumahnya masing-masing sekaligus beristirahat melepas penat bekerja seharian dan
menjadi kondisi yang cocok dalam melakukan pendekatan kepada Yang Maha Kuasa
apalagi bila kita mengingat keadaan jazirah Arabia diwaktu itu.
Kitab suci al-Qur’an memberikan petunjuk kepada kita saat
yang terbaik untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang muslim adalah malam
hari.
Berdirilah pada malam hari untuk ibadah,
separuhnya atau kurang dari itu atau malah lebih dari separuh malam dan bacalah
al-Qur’an dengan
perlahan-lahan. – Qs. 73
al-Muzzammil : 2 s/d 4
Sesungguhnya bangun diwaktu malam itu adalah
paling baik dan lebih tenang bacaannya – Qs. 73 al-Muzzammil : 6
Dari kacamata ilmu modern, perjalanan Nabi
keluar angkasa dimalam hari justru tepat sekali karena bila beliau
diberangkatkan saat siang hari maka beliau naik menuju matahari yang menjadi
pusat orbit semua planet dalam sistem matahari kita. Kenyataan ini tidak dapat
disebut bahwa Nabi telah berangkat naik akan tetapi sebenarnya beliau justru
turun karena semakin dekat kita pada pusat orbit atau pusat rotasi maka kita
tidak sedang naik namun sedang turun, seandainya orang naik dari bumi menuju
Planet Jupiter atau Saturnus hendaklah dia berangkat waktu malam yaitu bergerak
dengan menjauhi matahari selaku titik yang paling bawah dalam tata surya kita.
Orang mengetahui bahwa semesta, galaksi, tata
surya dan planet, masing-masingnya mengalami perputaran. Setiap putaran tentunya
memiliki pusat putaran yang langsung menjadi pusat benda angkasa itu. Semuanya
bagaikan bola atau roda yang senantiasa berputar. Maka sesuatu yang menjadi
pusat putaran dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari pusat putaran
dinamakan semakin atas.
Dalam hal ini keadaan dibumi dapat dijadikan
contoh. Pusat putaran bumi dikatakan paling bawah dan yang semakin jauh dari
pusat itu dikatakan semakin naik keatas. Akibatnya, orang yang berdiri di
Equador Amerika dan orang yang berdiri dipulau Sumatera, pada waktu yang sama,
akan menyatakan kakinya kebawah dan kepalanya keatas, padahal kedua orang
tersebut sedang mengadu telapak kaki dari balik belahan bumi, tetapi
masing-masingnya ternyata benar untuk status bawah dan atas yang dipakai
dipermukaan bumi ini.
Demikian juga jika contoh itu dipakai untuk
status tata surya dimana matahari sebagai bola api langsung bertindak jadi pusat
rotasi ataupun peredaran. Karenanya matahari dikatakan paling bawah dan yang
semakin jauh dari matahari dinamakan semakin naik keatas. Planet Venus dan
Mercury berada dibawah orbit bumi karena keduanya mengorbit dalam daerah yang
lebih dekat dengan matahari, jadi jika ada penduduk bumi yang pergi ke Venus,
Mercury atau Matahari, maka orang tersebut hakekatnya sedang turun bukan naik,
karenanya Planet Venus dan Mercury tidak mungkin disebut sebagai langit bagi
planet bumi kita, sebab yang dikatakan langit adalah sesuatu yang berada
dibahagian atas, tetapi benar kedua planet itu menjadi langit bagi matahari
sendiri.
Selanjutnya, ayat al-Qur’an juga menyebutkan secara jelas bahwa
peristiwa Isra’ dan
Mi’raj terjadi dari satu
titik (daerah) bernama Masjid al-Haram dan kita semua tahu bahwa kata itu
merujuk pada tempat bersujud disekeliling Ka’bah, entah itu dibagian yang disebut
Hathiem, Hijir maupun maqam Ibrahim dimana menurut konon cerita sebagai tempat
berpijak Nabi Ibrahim sewaktu meninggikan dasar-dasarnya bersama puteranya Nabi
Ismail. Karenanya maka kita tidak perlu bingung dengan keberadaan hadis riwayat
Bukhari yang menyatakan bahwa Nabi diperjalankan dari Hatihiem dan Hijr seperti
berikut ini :
Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin
Khalid dari Hummam bin Yahya dari Qatadah yang berasal dari Anas bin Malik dari
Malik bin Sha’sha’ah bahwasanya Nabi Allah Saw telah
menceritakan kepada mereka tentang suatu malam dimana beliau di
Israa’kan : ‘Ketika aku di Hathiem dan terkadang
beliau bersabda – aku ada di
Hijir sambil berbaring ...’
Semuanya menunjukkan bahwa posisi Nabi kala itu
masih berada di Mekkah dan dalam lingkungan Ka’bah (Masjid al-Haram) sesuai surah
al-Israa’ ayat 1.
Hanya saja yang perlu kita koreksi adalah
hadis-hadis lain (salah satunya juga diriwayatkan oleh Bukhari dari Anas bin
Malik menurut versi Abu Dzar) yang mengatakan bahwa Nabi diberangkatkan dari
dalam rumahnya dengan membukanya atap-atap rumah beliau dengan sendirinya untuk
kemudian muncul Jibril dan langsung membelah dadanya lalu ada juga hadis yang
mengatakan bahwa Nabi tidak berangkat dari rumahnya dan tidak pula dari dekat
Ka’bah tetapi dari rumah Umi
Hani binti Abu Thalib saat beliau menginap disana.
Disini kita tidak akan banyak bercerita
mengenai riwayat detil hadis-hadis itu namun untuk diketahui saja bahwa ada
banyak sekali variasi hadis yang menceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini dan masing-masing isi hadis
saling berseberangan atau bertolak belakang;
Dari kacamata ilmu modern, salah satu dari
kumpulan hadis-hadis itu pasti benar atau semuanya salah yang disebabkan
terdistorsinya hadis Nabi oleh pikiran, ucapan maupun khayalan para perawinya,
toh, mereka adalah manusia biasa, tidak ada jaminan para perawi hadis bebas dari
kesalahan. Mustahil Nabi Muhammad bercerita mengenai kejadian yang sama tetapi
berbeda informasinya, sebab ini berarti Nabi sudah berdusta padahal sifat ini
sangat jauh dari pribadi seorang Muhammad yang sejak kecil digelari
masyarakatnya sebagai al-amin.
Inilah makanya jangan terlalu bertaklid
terhadap hadis, bersifat kritislah, enyahkan jauh-jauh emosional yang mengganggu
pikiran rasional.
Selanjutnya dari masjid al-haram perjalanan
Nabi sampai kemasjid al-aqsha; bertitik tolak dari istilah masjid al-aqsha ini
maka sejumlah ulama kembali berbeda pandangan, apakah yang dimaksud adalah
masjid al-aqsha yang sekarang ini berada ditanah Yerusalem ataukah nama suatu
tempat nun jauh disana. Dalam hal ini Saleh A. Nahdi (Sumber: Saleh A. Nahdi,
Mi’raj Isra bukan Isra
Mi’raj, Penerbit PT. Arista
Brahmatyasa, Jakarta, 1993, hal. 45) berpendapat bahwa masjid al-aqsha yang
dimaksud merupakan masjid Nabawi dikota Madinah, dimana menurut beliau tujuan
perjalanan Nabi kesana sebagai petunjuk awal dari Allah kepada Nabi Muhammad
untuk berpindah dari tanah kelahirannya Mekkah al-mukarromah yang waktu itu
masyarakatnya sangatlah membenci beliau sekaligus menjadi titik tolak kemenangan
Islam dimasa depan.
Saleh A. Nahdi menyatakan bahwa penyebutan
masjid al-aqsha untuk nama tempat yang ada di Yerusalem tidaklah sesuai dengan
kalimat ‘Kami berkati
sekelilingnya’ sebab pada
kenyataannya daerah ini tidak pernah mencerminkan isi ayat tersebut, sebaliknya
hampir setiap hari kita lihat diberita terjadi pembantaian manusia oleh zionis
Israel.
Senada dengan Saleh A. Nahdi, Taufik Adnan Amal
(sumber: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, dengan kata pengantar : Prof. Dr. M.
Quraish Shihab, Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama (FkBA), Yogyakarta, 2001,
hal. 79, catatan kaki no. 59) berpendapat dengan merujuk istilah masjid al-aqsha
yang ada pada surah al-Israa’
ayat satu kepada tempat peribadatan yang terletak di Yerusalem sangat tidak
logis, karena masjid al-Aqsha baru dibangun sekitar 46 tahun setelah wafatnya
Nabi, dan hadis-hadis yang bercerita pengalaman Nabi di Bait al-Maqdis bukan
satu-satunya yang ditemukan dalam koleksi-koleksi hadis tentang peristiwa
Mi'raj.
Menurut beliau, hadis-hadis lainnya memberi
keterangan bahwa perjalanan spiritual Nabi tersebut bermula dari Mekkah dengan
tanpa menyebut perjalanan ke Yerusalem [Lihat misalnya Bukhari, Shahih, Kitab
al-Shalat, bab kayfafuridlat al-shalat...; Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir
al-Thabari, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ay al-Qur'an, eds. Mahmud Muhammad Syakir
& Ahmad Muhammad Syakir]; Disisi lain Taufik juga mempertanyakan bila
Yerusalem dalam ayat lain dinyatakan sebagai negeri terdekat (Lihat surah 30
ar-Rum ayat 3) maka bagaimana mungkin sekarang dinyatakan Yerusalem sebagai
masjid terjauh ?
Oleh karena itu masih menurut beliau, maka ahli
sejarah Islam terkenal, Thabari tidak memasukkan versi hadis tentang perjalanan
Nabi ke Yerusalem, tetapi menuturkan perjalanan spiritual Nabi ke langit dunia
tanpa menyinggung Yerusalem. Namun berbeda dengan Saleh A. Nahdi yang
berpendapat masjid al-aqsha adalah masjid Nabawi, maka Taufik Adnan Amal
berpendapat bahwa masjid al-aqsha yang tercantum didalam kitab suci merujuk
tempat ibadah para malaikat dilangit.
Bila kita kembalikan lagi kepada al-Qur’an sebagai data paling otentik yang diakui oleh umat Islam, penunjukan masjid al-aqsha kepada Bait al-Maqdis di Yerusalem memang tidak pernah ada sebaliknya ketika menyambung pembicaraan mengenai Isra’ Mi’raj dalam surah an-Najm, al-Qur’an memperkenalkan istilah Sidratul Muntaha dimana Nabi disebutkan telah melihat wujud asli dari malaikat Jibril.; Istilah masjid al-aqsha secara terminologi berarti tempat sujud yang jauh. Dari kitab suci, pemakaian kata masjid pernah disebut untuk merujuk tempat ibadah ashabul kahfi yang hidup sebelum kenabian Muhammad, sehingga argumentasi bahwa pengertian masjid hanya terbatas pada nama tempat dimana umat Nabi Muhammad beribadah menjadi lemah.
Bila kita kembalikan lagi kepada al-Qur’an sebagai data paling otentik yang diakui oleh umat Islam, penunjukan masjid al-aqsha kepada Bait al-Maqdis di Yerusalem memang tidak pernah ada sebaliknya ketika menyambung pembicaraan mengenai Isra’ Mi’raj dalam surah an-Najm, al-Qur’an memperkenalkan istilah Sidratul Muntaha dimana Nabi disebutkan telah melihat wujud asli dari malaikat Jibril.; Istilah masjid al-aqsha secara terminologi berarti tempat sujud yang jauh. Dari kitab suci, pemakaian kata masjid pernah disebut untuk merujuk tempat ibadah ashabul kahfi yang hidup sebelum kenabian Muhammad, sehingga argumentasi bahwa pengertian masjid hanya terbatas pada nama tempat dimana umat Nabi Muhammad beribadah menjadi lemah.
Sungguh kami akan mendirikan masjid (tempat
bersujud) diatasnya
– Qs. 18 al-Kahf : 21
– Qs. 18 al-Kahf : 21
Untuk itu tidak berlebihan kiranya apabila saya
cenderung mengkaitkan antara masjid al-aqsha dengan Sidratul Muntaha, dengan
kata lain bahwa masjid al-aqsha yang dimaksud tidak berada dibumi ini.
Mengkaitkan antara masjid al-aqsha sebagai
masjid Nabawi maupun Bait al-Maqdis di Yerusalem sama sekali tidak tepat selain
memang bertentangan dengan fakta historis tanah tepi barat yang selalu
menumpahkan darah sehingga tidak layak disebut kota suci yang diberkahi Tuhan
sepanjang masa, perjalanan Nabi untuk sujud dimasjid Nabawi yang notabene belum
ada saat itu tidak masuk dilogika.; Kita tahu sebelum Nabi memutuskan hijrah ke
Madinah (dulu bernama Yatsrib) Nabi pernah melakukan hijrah ke Ethiopia
(Habsyah) namun gagal. Seandainya Nabi sudah tahu bahwa tempat hijrah yang
sebenarnya adalah di Madinah, beliau tidak perlu lagi mencoba ke Ethiopia.
Sidratul Muntaha bila dilihat dari kacamata
ilmu modern bisa diasumsikan bagi nama sebuah planet bumi lain diluar tata surya
yang kita diami ini yang letaknya jauh dari jangkauan penglihatan indrawi kita
secara kasat mata. Surah an-Najm ayat ke-7 menyebutnya dengan istilah ufuk yang
tinggi, sedangkan ufuk sendiri adalah batas pandangan mata, kita juga tahu mata
kita ini memiliki keterbatasan dalam melihat semua benda luar angkasa yang
berjumlah jutaan itu.
Dan dia berada diufuk yang tinggi – Qs. 53 an-Najm : 7
Saya juga menghubungkan antara Sidratul Muntaha
yang disebut dalam ayat ke-15 surah an-Najm terdapat Jannah sebagai tempat
tinggal dengan Jannah dimana dulunya Adam berasal sebelum diperintahkan Allah
turun kebumi kita ini dan di Jannah itu juga para Malaikat pernah bersujud
kepada Adam.
Didekatnya ada Jannah tempat tinggal
– Qs. 53 an-Najm : 15
Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu didalam
Jannah itu
– Qs. 7 al-a’raaf : 19
– Qs. 7 al-a’raaf : 19
Dan saat Kami memerintahkan kepada Malaikat :
‘Sujudlah kamu semua
kepadanya !’ ; Lalu mereka
bersujud kecuali Iblis
– Qs. 17 al-Israa’ : 61
– Qs. 17 al-Israa’ : 61
Istilah Jannah sendiri bisa diartikan sebagai
kebun yang subur (referensi : A. Hassan, Tafsir al-Furqon, Penerbit Pustaka
Tamaam Bangil, 1986, hal. 10, catatan kaki no.38), dan kita bisa membaca sifat
Jannah yang lain dari surah Thaha ayat 118 dan 119 bahwa didalamnya Adam tidak
merasa kepanasan akibat sinar matahari dan tidak juga dia merasa kehausan atau
kelaparan maupun sampai telanjang akibat udara yang panas sehingga harus membuka
pakaian, sebab tempat tersebut banyak sekali pepohonan yang rimbun dan buahnya
bisa dinikmati sebagaimana isi surah al-Baqarah ayat 35.
Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan dan
telanjang didalamnya dan sungguh kamu juga tidak akan merasa dahaga maupun
ditimpa panas matahari disana – Qs. 20 Thaha : 119
Bila kita mengadakan bacaan lintas kitab
seperti yang sudah pernah kita lakukan sebelumnya, al-Kitab Kristen pun
menceritakan bahwa Adam dan istrinya bukan tinggal di surga yang wujudnya tidak
dapat dibayangkan secara konkrit melainkan tinggal dalam sebuah kebun yang
subur.
Selanjutnya TUHAN Allah membuat taman di Eden,
di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya
itu.
- Perjanjian Lama : Kitab Kejadian : Pasal 2 ayat 8
- Perjanjian Lama : Kitab Kejadian : Pasal 2 ayat 8
Dengan demikian, perjalanan yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad selaku Nabi terakhir pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah suatu perjalanan pulang
kampung. Melihat kembali tempat dimana dulunya nenek moyang manusia bumi ini
(yaitu Adam dan istrinya) berasal.
Hadis-hadis yang mengisahkan peristiwa ini
memang sangat beragam dan tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang
lain, namun dari perbedaan-perbedaan tersebut, ada persamaan yang perlu kita
perhatikan, yaitu kisah dimana Nabi disebutkan mengendarai Buraq dalam
perjalanan malamnya itu.
Adalah logis dan sejalan dengan kausalita bahwa
saat seseorang melakukan perjalanan yang berjarak jauh, dia memerlukan alat
transportasi sebagai jembatan atas keterbatasan phisiknya. Apalagi untuk
menempuh perjalanan antar bintang yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, praktis
beliau pun membutuhkan sarana transportasi ini dengan kemampuan yang memang
memadai untuk memberikan perlindungan dari segala macam bahaya, baik dari
benturan meteor, kehampaan udara, pergesekan dengan atmosfir bumi dan
sebagainya. Allah tidak melakukan pelanggaran hukum alam disini, Dia tidak
memperjalankan Nabi Muhammad layaknya seorang Superman yang terbang bebas atau
tidak juga memberinya kuda sembrani bersayap dan karpet terbang namun Dia
memberikan sebuah wahana antariksa bernama Buraq.
Istilah Buraq mungkin berasal dari istilah
Barqu yang berarti kilat sebagaimana terdapat pada ayat al-Qur’an yang bisa dilihat dibawah ini. Dengan
perubahan istilah barqu menjadi buraq, Nabi hendak menyampaikan kepada kita
bahwa kendaraannya itu memiliki kecepatan diatas sinar, jauh meninggalkan
teknologi yang sudah kita capai dijaman sekarang ini, mungkin lebih mirip dengan
kecepatan piring terbang yang sering dilaporkan oleh masyarakat sehingga praktis
Nabi dapat melakukan perjalanan antar planet dalam waktu setengah malam saja.
Hampir-hampir kilat itu menyambar pemandangan
mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan dibawah sinar
itu dan bila gelap tiba, mereka berhenti berjalan. Niscaya jika Allah
menghendakinya Dia melenyapkan pemandangan dan penglihatan mereka, karena Allah
maha berkuasa atas segala sesuatu. – Qs. 2 al-baqarah : 20
Para sarjana telah melakukan penyelidikan dan
berkesimpulan bahwa kilat atau sinar bergerak sejauh 186.000 mil atau 300
Kilometer perdetik. Dengan penyelidikan yang memakai sistem paralax, diketahui
pula jarak matahari dari bumi sekitar 93.000.000 mil dan dilintasi oleh sinar
dalam waktu 8 menit. Untuk menerobos garis tengah jagat raya saja memerlukan
waktu 10 milyar tahun cahaya melalui galaksi-galaksi dan selanjutnya menuju
tempat yang oleh S. Anwar Effendie (sumber: S. Anwar Effendie, Isra’ Mi’raj, Perjalanan ruang waktu dalam
kaitannya dengan penciptaan alam raya, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1993, hal. 147) disebutnya sebagai kulit bola alam raya dengan garis tengah 40
milyar tahun cahaya.
Untuk mencapai jarak yang demikian jauhnya
tentu diperlukan penambahan kecepatan yang berlipat kali kecepatan cahaya.
Karenanya Kenneth Behrendt seorang konsultan teknik dan ahli kimia Amerika
seperti yang dilansir oleh Angkasa Online N0.8 Mei 2000 TAHUN X (sumber: Angkasa
Online, www.angkasa-online.com/10/08/fenom/fenom1.htm, Menjejak UFO dengan Kemampuan Terbatas, No.8 Mei 2000 Tahun X)
mengungkapkan pesimistiknya mengenai perjalanan keluar angkasa jika hanya
mengandalkan teknologi pesawat saja, sebab menurutnya perjalanan kealam semesta
terdekat, yakni Alpha Centauri yang berjarak empat tahun cahaya, bisa dipastikan
tak akan pernah terjadi.
Sebab untuk mencapainya paling-tidak diperlukan
waktu hingga 80.000 tahun. Dengan waktu selama ini, boleh jadi tujuan perjalanan
yang sesungguhnya justru akan terlupakan di tengah jalan. Perjalanan pun kian
tak berarah mengingat dalam kecepatan cahaya tak ada satu pun gelombang radio
yang bisa digunakan untuk mengantar pesan dan komando taktis dari pangkalannya
dibumi ini.
Namun bagi saya, disitulah justru letak
keistimewaan terbesar Nabi Muhammad selain al-Qur’an, bukankah sudah kita bahas sebelumnya
bahwa peristiwa Isra’
Mi’raj bukanlah atas kehendak
dari Nabi sendiri dan tidak juga mengandalkan teknologi atau kemampuan yang
beliau miliki tetapi semuanya atas keinginan dari Allah yang memang maha
memiliki kemampuan teknologi dan adalah mudah bagi-Nya untuk menyiapkan sebuah
pesawat yang mampu melintasi alam semesta dengan garis tengah milyaran tahun
cahaya.
Dari sisi ilmu komputer mungkin bisa
dicontohkan dengan analogi dari prinsip-prinsip jaringan komputer sebagai
berikut : Protocol TCP / IP yang kita gunakan di Internet kita ibaratkan sebagai
Buraq atau kendaraan yang dipakai oleh Nabi, sedangkan diri Nabi Muhammad
sendiri adalah paket data (e-mail misalnya) yang akan kita kirimkan ke ujung
belahan dunia lain (planet Muntaha). Melalui proses enkripsi, enkode dan dekode
yang dikapsulkan (capsulated) di dalam protocol TCP / IP (Buraq), paket data
(dalam hal ini Nabi) dapat melihat-lihat dan berjalan-jalan menelusuri jaringan
Internet yang berbeda-beda dimensinya (disini kita ingat bahwa Nabi
disebut-sebut banyak melihat-lihat pemandangan yang mencerminkan masa yang akan
datang), lewat transmisi terrestrial (dimensi kabel, serat optik) kemudian di up
link melalui transmisi satelit dan micro wave (dimensi radio link) hingga
kembali ke bentuk dimensi asalnya teks di layar komputer (planet Muntaha),
begitu juga sebaliknya.
Untuk itulah kiranya bisa dimengerti kenapa
sebelum peristiwa Isra’ dan
Mi’raj terjadi, Nabi Muhammad
dibelah dadanya oleh para Malaikat. Hal ini tidak lain sebagai suatu persiapan
kondisi jasmaninya agar cukup dan mampu dalam menempuh penerbangan jarak jauh.
Sebab jantung merupakan alat vital bagi manusia terutama dalam memacu peredaran
darah yang mana jantung ini bekerja tanpa henti-hentinya sejak dari kandungan
sampai dengan akhir hayatnya.
Sepasang dokter Amerika yang terdiri dari suami
istri, Dr. William Fisher dan Dr. Anna Fisher mengatakan bahwa perkembangan ilmu
kedokteran antariksa tengah memfokuskan penyelidikannya sehubungan dengan
pembuluh darah jantung para astronot dan kondisi-kondisi tulang yang makin lemah
setelah lama dalam ruang angkasa, ini membuktikan kebenaran dari peristiwa
pembedahan dada Nabi Muhammad oleh dokter-dokter ahli langit yang ditunjuk oleh
Allah, yaitu para malaikat yang diketuai oleh Jibril.
Dalam peristiwa pembedahan dan pembersihan
jantung Nabi sebelum Mi'raj kiranya merupakan gambaran adanya pengertian bagi
manusia umumnya untuk mempelajari ilmu kedokteran khusunya dalam bidang bedah
dan anatomi serta ilmu kedokteran antariksa. Dan ternyata kemudian bedah jantung
ataupun pencangkokan jantung dan ilmu kedokteran antariksa oleh para ahli mulai
diperkenalkan pada abad dua puluh.
Pada abad-abad kemajuan Islam dibidang
teknologi dan ilmu pengetahuan, maka jelaslah bagi kita bahwa ahli-ahli
kedokteran muslim telah memperlihatkan kemajuan yang pesat sekali. Buku-buku
berbahasa Arab yang berisi ilmu-ilmu kedokteran benar-benar ilmiah dan asli.
Malahan sudah menjadi bahan pelajaran dinegara Eropa khususnya, ahli-ahli
kedokteran yang termasyur misalnya saja Ibnu Sina (Aviccena), Qorsh-'Ala'uddin,
Ibnu An Nafis (yaitu dokter yang pertama kali mengajarkan peredaran darah)
dimana dalam tulisan itu dijelaskan secara sistematis bagaimana aliran darah
mengalir dari hati kejantung melalui urat nadi paru-paru dan kemudian kembali
lagi kehati.
Mengenai kecepatan cahaya sendiri,
al-Qur’an sudah memberikan
contoh melalui perjalanan malaikat menuju kehadirat-Nya dalam ayat berikut :
Naik malaikat-malaikat dan ruh-ruh kepada-Nya
dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun - Qs. 70 al-Maarij : 4
Ukuran waktu dalam ayat diatas disebutkan angka
50 ribu tahun sebagai rentang waktu yang menunjukkan betapa lamanya waktu yang
diperlukan penerbangan malaikat dan Ar-Ruh untuk sampai kepada Tuhan. Namun
bagaimanapun juga ayat itu menunjukkan adanya perbedaan waktu yang cukup besar
antara waktu kita yang tetap dibumi dengan waktu malaikat yang bergerak cepat
diluar angkasa, dalam bahasa modern kita bisa menjelaskan bahwa waktu untuk
seseorang yang berada dibumi berbeda dengan waktu bagi orang yang ada dalam
pesawat yang berkecepatan tinggi.
Perbedaan waktu yang disebut dalam ayat diatas
dinyatakan dengan angka satu hari malaikat berbanding 50.000 tahun waktu bumi,
perbedaan ini tidak ubahnya dengan perbedaan waktu bumi dan waktu elektron,
dimana satu detik bumi sama dengan 1.000 juta tahun elektron atau 1 tahun Bima
Sakti sama dengan 225 juta tahun waktu sistem solar.
Jadi bila malaikat berangkat jam 18:00 dan
kembali pada jam 06.00 pagi waktu malaikat, maka menurut perhitungan waktu
dibumi sehari malaikat sama dengan 50.000 tahun waktu bumi. Dan untuk jarak
radius alam semesta hingga sampai ke Muntaha dan melewati angkasa raya yang
disebut sebagai 'Arsy Ilahi, 10 Milyar tahun cahaya diperlukan waktu kurang
lebih 548 tahun waktu malaikat. Namun malaikat Jibril kenyataannya dalam
peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad Saw itu hanya menghabiskan waktu 1/2 hari waktu
bumi (maksimum 12 Jam) atau sama dengan 1/100.000 tahun Jibril.
Contoh lain yang cukup populer, yaitu paradoks
anak kembar, ialah seorang pilot kapal ruang angkasa yang mempunyai saudara
kembar dibumi, dia berangkat umpamanya pada usia 0 tahun menuju sebuah bintang
yang jaraknya dari bumi sejauh 25 tahun cahaya. Setelah 50 tahun kemudian
sipilot tadi kembali kebumi ternyata bahwa saudaranya yang tetap dibumi berusia
49 tahun lebih tua, sedangkan sipilot baru berusia 1 tahun saja. Atau
penerbangan yang seharusnya menurut ukuran bumi selama 50 tahun cahaya pulang
pergi dirasakan oleh pilot hanya dalam waktu selama 1 tahun saja.
Dari contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa
jarak atau waktu menjadi semakin mengkerut atau menyusut bila dilalui oleh
kecepatan tinggi diatas yang menyamai kecepatan cahaya. Kembali pada peristiwa
Mi'raj Rasulullah bahwa jarak yang ditempuh oleh Malaikat Jibril bersama Nabi
Muhammad dengan Buraq menurut ukuran dibumi sejauh radius jagad raya ditambah
jarak Sidratul Muntaha pulang pergi ditempuh dalam waktu maksimal 1/2 hari waktu
bumi atau 1/100.000 waktu Jibril atau sama dengan 10 pangkat -5 tahun cahaya,
yaitu kira-kira sama dengan 9,46 X 10 pangkat-23 cm/detik dirasakan oleh Jibril
bersama Nabi Muhammad (bandingkan dengan radius sebuah elektron dengan 3 X 19
pangkat -11 cm) atau kira-kira lebih pendek dari panjang gelombang sinar gamma.
Nah, istilah berkah yang disebut dalam surah
al-Israa’ ayat satu menurut
pendapat penulis merupakan penjagaan total yang melindungi Nabi Muhammad didalam
kendaraan Buraqnya dari berbagai bahaya yang dapat timbul baik selama perjalanan
dari bumi atau juga selama dalam perjalanan diruang angkasa, termasuk pencukupan
udara bagi pernafasan Rasulullah selama itu dan lain sebagainya.
Jika kita sudah terbiasa menonton film Star
Treks, Star Wars, Babilon V atau juga Independence Day (ID4) maka tidaklah sukar
kiranya untuk memahami peristiwa yang dialami oleh Nabi dalam kisah
Isra’ dan Mi’raj tersebut. Manusia sekarang ini sudah
mampu mengkhayal kecanggihan yang demikian luar biasanya dalam film-film fiksi
ilmiah dan ini sebenarnya adalah ilham yang sudah diberikan Allah kepada kita
agar kelak kitapun harus dapat merealisasikannya secara nyata.
Dus, perjalanan Nabi Muhammad yang masih
dianggap fantastis dan ghaib ini bukan satu-satunya hal yang pernah terjadi
dalam sejarah kenabian, didalam al-Kitab tepatnya pada Perjanjian Lama kita juga
bisa membaca bahwa Nabi Yehezkiel (salah seorang Nabi Israel yang oleh sementara
cendikiawan Islam diduga sebagai Nabi Zulkifli) pernah melakukan perjalanan yang
serupa hanya saja beliau tidak sampai menjelajah keluar angkasa.
Berikut petikan kisahnya :
Dalam tahun kedua puluh lima sesudah pembuangan
kami, yaitu pada permulaan tahun, pada tanggal sepuluh bulan itu, dalam tahun
keempat belas sesudah kota itu ditaklukkan, pada hari itu juga kekuasaan TUHAN
meliputi aku dan dibawa-Nya aku dalam penglihatan-penglihatan ilahi ke tanah
Israel dan menempatkan aku di atas sebuah gunung yang tinggi sekali. Di atas itu
di hadapanku ada yang menyerupai bentuk kota.
Ke sanalah aku dibawa-Nya. Dan lihat, ada
seorang yang kelihatan seperti tembaga dan di tangannya ada tali lenan beserta
tongkat pengukur; dan ia berdiri di pintu gerbang.
Orang itu berbicara kepadaku: ‘Hai anak manusia, lihatlah dengan teliti
dan dengarlah dengan sungguh-sungguh dan perhatikanlah baik-baik segala sesuatu
yang akan kuperlihatkan kepadamu; sebab untuk itulah engkau dibawa ke mari,
supaya aku memperlihatkan semuanya itu kepadamu. Beritahukanlah segala sesuatu
yang kaulihat kepada kaum Israel’. – Perjanjian
Lama : Kitab Yehezkiel 40 : 1 - 4
Dalam ayat diatas kita mendapat gambaran, bahwa
Nabi Yehezkiel atas kehendak dari Allah –serupa dengan kejadian Nabi Muhammad yang bukan atas keinginan
pribadinya- telah diperjalankan dari tempatnya semula menuju kesuatu gunung yang
sangat tinggi dan dari atas gunung itu Yehezkiel mampu memandang keseluruhan
kota secara leluasa. Pada ayat lain dari kitab Yehezkiel, kita juga akan
menemukan bahwa kemungkinan Buraq juga sudah pernah diturunkan oleh Allah
melalui malaikat-Nya pada jaman kenabian Yehezkiel dan mungkin pesawat yang
memiliki kecepatan diatas cahaya ini juga yang telah membawanya keatas sebuah
puncak gunung yang tinggi itu.
Datanglah firman TUHAN kepada imam Yehezkiel,
anak Busi, di negeri orang Kasdim di tepi sungai Kebar, dan di sana kekuasaan
TUHAN meliputi dia.
Lalu aku melihat, sungguh, angin badai bertiup
dari utara, dan membawa segumpal awan yang besar dengan api yang berkilat-kilat
dan awan itu dikelilingi oleh sinar; di dalam, di tengah-tengah api itu
kelihatan seperti suasa mengkilat. Dan di tengah-tengah itu juga ada yang
menyerupai empat makhluk hidup dan beginilah kelihatannya mereka: mereka
menyerupai manusia. –
Perjanjian Lama : Kitab Yehezkiel 1:3-5
Terlepas sejauh mana kepercayaan kita pada apa
yang disampaikan didalam kitab Perjanjian Lama tersebut, setidaknya secara
obyektif kita memiliki satu parameter perbandingan dengan kisah-kisah yang ada
didalam Islam. Apalagi kita tahu bahwa al-Kitab sendiri sebenarnya merupakan
ajaran Tuhan yang pernah ada namun di interpolasi oleh tangan-tangan manusia,
tetapi dibalik semua intervensi yang terjadi ini saya memiliki keyakinan bahwa
jejak-jejak kebenaran Tuhan akan tetap ada dan nyata dalam kitab tersebut,
karena itu al-Qur’an disebut
sebagai korektor atau pembanding terhadap kebenaran yang ada.
Dan Kami telah menurunkan untukmu
al-Qur’an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang ada sebelumnya, yaitu beberapa kitab suci
sekaligus menjadi korektor terhadap kitab-kitab yang lain itu – Qs. 5 al-Maidah : 48
Wassalam,
No comments:
Write komentar